 |
MELPEN YEIMO |
Kebebasan Iman dan Toleransi
Beragama
satu harapan rakyat kasih dengan iman untuk menuju membangkitkan kita punya tujuan menemui tahapan itu , harus bekerja keras walau pun tantangan sendi
masayarakat timika adalah salah satu pauwer (kasih dan tidak suara) saya menyatakan bahwa mematokan misi dan visi' siapa sebenarnya dia itu
kita harus diskusi sesama teman bahwa dia korban demi banyak orang ujar yeimo
SATUHARAPAN.COM
- Sudah sejak abad ke XVI, Martin Luther memperkenalkan sebentuk modus
kebebasan beriman yang unik, melalui karyanya berjudul Kebebasan Seorang
Kristen. Di situ kebebasan beriman harus mulai –bahkan semata-mata
bertolak- dari kebebasan batin, dari jiwa yang dalam kegembiraannya,
tidak lagi hidup dalam kungkungan agama dan hukum (agama).
Ada yang
menyala di dalam jiwa orang yang beragama, yaitu status bebas sang manusia di
hadapan Allah yang memberi karunia-Nya. Pendek kata, Luther amat menekankan
adanya inner liberty dalam diri manusia beriman; kebebasan itu
manusia dapatkan karena ia hidup di bawah Allah yang maharahim.
Selanjutnya,
ini aspek yang tak kalah penting: setiap manusia yang sudah bebas merdeka dalam
jiwanya tadi, mampu menerima setiap orang (lain) merayakan kebebasannya.
Gelanggang hidup sudah dibuka sebagai ruang pemberian Allah dimana kebebasan
menjadi intinya.
Dengan
demikian ihwal institusi dan posisi legal agama tidak terlalu dipermasalahkan,
apalagi dijadikan sebagai penjaga tingkah laku manusia. Yang tersedia kini bagi
kita ialah agama yang ikut mendorong manusia menikmati “kebebasan untuk”
menghidup sebentuk hidup beriman yang terbuka dan lapang.
Pernah
pangeran Ulrich von Hutten menawari Luther “pedang” untuk menjaga “kebebasan”
Protestantisme kala itu. Namun Luther menjawab, “Hanya dengan Sabdalah dunia
ini dihadapi, hanya oleh Sabda sajalah gereja dipelihara, dan oleh Sabda
pulalah gereja akan dibaharui” (Surat Kepada Spalatin, terbit tahun
1521). Dan Sabda tidak akan datang sebagai paksaan kepada setiap yang
mendengarkannya.
Mungkin
ini terasa naif, walau menurut saya perspektif Luther ini tetap sahih sekalipun
untuk Indonesia masalah kebebasan beragama bertambah rumit di sini. Teman
Luther, yaitu Calvin di Genewa, dalam acuan pada kebebasan iman tadi, akhirnya
bersepakat bahwa orang Katolik dan Protestan (yang sebelumnya berperang) bisa
hidup dalam hormat akan independensinya masing-masing dan menikmati kebebasan
imannya, di sebuah negara yang berdaulat dan legitim.
Toleransi
Mungkin
dengan modus bebas beriman di hadapan Tuhan ini, maka toleransi juga bisa
diharapkan datang menjelang. Maksud saya: kalau kebebasan iman adalah dimensi
batin komunitas, maka toleransi beragama adalah dimensi sosialnya.
Sejak John
Locke sudah dicatat bahwa masyarakat (dan pemerintah yang mengelolanya) akan
lebih sehat kalau ia tidak minta restu dari satu agama, atau pun
mengistimewakannya; ia mesti bersikap netral saja. Dalam catatan Locke mengenai
toleransi ditegaskannya bahwa tangan pemerintah/kekuasaan tidak boleh masuk ke
ruang agama, sebab memang paksaan negara tidak bisa mendorong orang untuk
beriman; “negara/pemerintah tidak bisa mengatur –apalagi memaksa- warganya
masuk surga!”, demikian sepenggal isi Surat tentang Toleransi. Justru
kalau negara/pemerintah/masyarakat mengatur hidup beragama, maka kemunafikanlah
yang dilahirkannya.
Indonesia
masa Reformasi ini harus menanggung sejumlah beban terkait dengan kebebasan
tadi: beban politik identitas (disebut SARA), yang terus menggangsir proses
demokrasi modern, namun juga menimbulkan sekat-sekat lintas komunal yang
membatasi kebebasan beragama di Indonesia. Tentu ada isu pada tataran legislasi
di sini, yang kiranya diperjuangkan di bawah skema Pasal 28E UUD’45:
(1). Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
(2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Tapi,
sekali lagi, tak kalah pentingnya adalah unsur kebebasan batin atau iman tadi.
Sebab dengan itulah dari hati umat mungkin muncul sikap yang membela bahkan
menjaga kebebasan beragama dan berkepercayaaan di negeri ini.
Pendek
kata, kalau agama-agama di negeri ini menekankan dan mengembangkan sebentuk inner
liberty dalam hidup berimannya, maka dalam kebebasan sedemikian ia akan
mudah sekali mengembangkan sikap toleransi beragama. Kita bisa berharap
bahwa setelah nyata iman yang bebas, maka akan lahirlah masyarakat yang
menjunjung toleransi beragama.