Kabar meda www.medawogi.com
Organisasi
Papua Merdeka (disingkat OPM)
adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan
provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya
dikenal sebagai Irian Jaya,[1] dan untuk
memisahkan diri dari Indonesia. Kata melpen
Gerakan
ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi
provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan.[2] Sejak awal
OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaranbendera
Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin
menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti
lagu kebangsaan "Hai Tanahku
Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode
1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak
menjadi Indonesia) dipandu oleh Soekarno untuk
menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini Belanda (Nugini
Barat) dan Australia yang
menjalankan pemerintahan di teritori Papua dan Nugini Britania menolak
penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia
sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan
Belanda dan Nugini Belanda sebelum
perang berakhir dengan diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan[3] sampai
pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957
bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan
pembangunan di teritori Australia dan
kepentingan Amerika Serikat membuat dua
wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman,
"Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun:
rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan.
Tinggalkan kami sendiri! [sic]"[4]
Nugini Belanda mengadakan
pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada
April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C.,Penasihat
Keamanan Nasional McGeorge
Bundy melobi
Presiden A.S. John F. Kennedy untuk
menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.[5] Perjanjian
New York dirancang
oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun
Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri sesuai
piagam PBB dan Resolusi
1514 (XV)Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free
Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan
wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.[6] Kelompok
separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember
setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan
seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa
kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.[7]
Pada
bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite
Nasional Nugini
yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara
Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua.[8] Menurut Duta
Besar Amerika Serikat Francis
Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik juga meyakini
bahwa militer Indonesia adalah penyebab munculnya masalah di teritori ini dan
jumlah personelnya harus dikurangi sampai separuhnya. Galbraith menjelaskan
bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang anti-Indonesia" dan
"kemungkinan 85-90 persen [penduduk Papua] mendukung OPM atau setidaknya
sangat tidak menyukai orang Indonesia".[9]
Brigadir
Jenderal Sarwo Edhie mengawasi
perancangan dan pelaksanaan Act
of Free Choice pada
14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada 22 Agustus
1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan sistem satu
orang, satu suara (proses
yang dikenal dengan nama referendum atau plebisit), namun permintaannya ditolak
atas alasan bahwa aktivitas semacam itu tidak tercantum dalam Perjanjian New
York 1962.[10] 1.025 tetua
adat Papua dipilih dan diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam
Perjanjian New York. Hasilnya adalah kesepakatan integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia,
Agustus 2012
Menanggapi
hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua
komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana
mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971,
Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik
Papua Barat dan
segera merancang konstitusinya.
Konflik
strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua
faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan ini
sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat.
Sejak
1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering
menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam
rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM.
Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka
terhadap Freeport dan memotong jalur
pipa slurry dan bahan
bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan
meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan
kerugiannya mencapai $123.871,23.[1]
Tahun
1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses
Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB,Gerakan Non-Blok, Forum
Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun
1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura,
ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia.
Serangan ini langsung diredam militer Indonesia dengan aksi
kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang
diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.
Tanggal
14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali
aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau
simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani
"Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19
Februari, akan turun hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT,
sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan
gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan
bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa
dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April
1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak
sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati
lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.[1]
Dalam
insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah
orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp
hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Bulan
Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak.
Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia
membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di
antara orang-orang yang ditangkap.[11]
Tanggal
24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh
orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga
sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia
memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di Papua.[12]
Pada
tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah
transmigran asal Sumatera Barat.[13]
Tanggal
8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan
kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera.[14]
Tanggal
31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan
terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga
akan dijual di Jayapura.[15]
Tanggal
8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat
yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata
OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan
kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya,
seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby
Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa,
seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4
tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan
mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.[16]
Tanggal
1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang
warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian
kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.[17]
Tanggal
9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban
adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8
tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.[18]
Hirarki organisasi dan
otoritas pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Organisasi
internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi' OPM
adalah Mathias Wenda.[19] Juru bicara
OPM di Sydney, John
Otto Ondawame, mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan
titah kemerdekaan.[19] Jurnalis
lepas Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan.[19] Tentara
Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar
Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh
ML Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih
besar dan beroperasi di seluruh Papua Barat.[19]
Organisasi
yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang diketuai
oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria. Selama
pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
Sebelum
pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth Roemkorem
sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan Sementara Papua
Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM mencapai
puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena sebagai
struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui
keberadaan OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakhar,
dengan Tanggahma sebagai Duta Besar.
Karena
persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda. Selama ini,
Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia meninggalkan
sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh oleh ABRI
Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu inisiatif
Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia menunjuk dan memerintahkan
sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari mereka adalah anggota
pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan Skotiau, Vanimo-Papua
Barat.
Komandan
regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II (Jayapura
- Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus Yogi
(Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain.
Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16
Desember 2009.[20]
Pada
tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat Tabuni (Kabupaten
Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang gerakan kemerdekaan
Papua Barat.[21]
Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat (TPNPB), adalah sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB
dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli
1971 di Markas Victoria. Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat
berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada
Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan. Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Jenderal. Goliath Tabuni diangkat
menjadi Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
Mengabarkan megawogi
Cip melpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar